Potensi Mikroalga untuk Mendukung Pakan Ikan dalam Akuakultur

Potensi Mikroalga untuk Mendukung Pakan Ikan dalam Akuakultur

Industri akuakultur yang berfokus pada ikan karnivora telah menyebabkan pakan mengandung kadar tinggi tepung dan minyak ikan. Di Eropa, permintaan terhadap bahan ini mencapai sekitar 1,9 juta ton per tahun, tulis Nathan Atkinson, mahasiswa MSc Sustainable Aquaculture Systems dari Fish Nutrition and Aquaculture Health Group, Universitas Plymouth, Inggris.

Awalnya, penggunaan tepung ikan dimaksudkan sebagai cara mendaur ulang limbah perikanan, khususnya dari hasil tangkapan sampingan dan sisa pemotongan. Namun, seiring pesatnya perkembangan industri akuakultur, ketergantungan ini menjadi tidak berkelanjutan secara lingkungan.

Akibatnya, berbagai alternatif sumber pakan ikan mulai dikaji. Salah satu kandidat yang menjanjikan adalah mikroalga. Artikel ini akan meninjau potensi mikroalga dari segi kualitas gizi, metode produksi, biaya, serta peluang penggunaannya di masa depan dalam industri akuakultur.

Tinjauan Umum Alga

Alga laut tersebar luas dari wilayah kutub hingga laut tropis. Mereka hidup di lingkungan yang kaya maupun miskin nutrisi. Alga adalah organisme fotoautotrof yang tidak memiliki akar dan daun, namun memiliki klorofil a. Ukurannya sangat bervariasi, mulai dari sel mikroskopis yang disebut mikroalga hingga rumput laut yang dapat tumbuh lebih dari 30 meter panjangnya (Qin 2012).

Mikroalga laut merupakan produsen primer dominan dalam ekosistem perairan. Mereka menyumbang tingkat fiksasi karbon yang setara dengan tanaman darat (40–50 persen), meskipun hanya mewakili sekitar 1 persen dari biomassa fotosintetik global (Stephenson 2011). Mikroalga juga kadang dikonsumsi manusia sebagai suplemen kesehatan karena kandungan nutrisinya yang tinggi (Dallaire 2007). Namun, penggunaannya masih tergolong jarang.

Karena ikan karnivora mengonsumsi alga sebagai makanan (Nakagawa 1997), maka muncul ide untuk menggunakannya sebagai bahan pakan. Saat ini, sekitar 30 persen produksi alga dunia digunakan untuk pakan hewan (Becker 2007). Dalam akuakultur, penggunaannya masih terbatas pada larva ikan, moluska, dan krustasea (FAO 2009a).

Penggunaan tepung dan minyak ikan dalam akuakultur yang tidak berkelanjutan menjadikan mikroalga sebagai alternatif menarik. Sebagai organisme fotosintetik, alga mampu mengubah energi matahari yang sangat besar menjadi protein, lipid, dan nutrisi. Energi matahari yang mengenai permukaan bumi dalam satu jam melebihi energi yang digunakan manusia dalam setahun. Ini merupakan potensi energi berkelanjutan yang besar dan dapat dimanfaatkan oleh alga. Meskipun bidang ini masih baru, potensi penggunaannya di masa depan sangat besar.

Mikroalga

Istilah ‘mikroalga’ sering merujuk pada organisme eukariotik dari lingkungan air tawar maupun laut. Namun, istilah ini juga mencakup prokariot seperti sianobakteri (Stephenson 2011). Produksi mikroalga menarik perhatian karena potensinya sebagai bahan bakar hayati (Slocomb 2012), pakan hewan, konsumsi manusia, serta dalam teknologi protein rekombinan (Becker, 2007; Potvin dan Zhang 2010; Williams dan Laurens, 2010).

Riset dan pengetahuan yang berkembang memicu banyak ulasan tentang topik-topik seperti rekayasa genetika alga (Qin 2012), biofuel (Demirbas 2011), dan metode pengukuran protein (Slocomb 2012). Hal ini memungkinkan sektor akuakultur ikut memanfaatkan hasil penelitian industri biodiesel, bahkan berperan sinergis melalui pemanfaatan produk samping (Ju 2012).

Saat ini, mikroalga digunakan sebagai aditif pakan, pengganti tepung dan minyak ikan, pewarna salmonid, pemicu aktivitas biologis, serta untuk meningkatkan nilai gizi zooplankton bagi larva dan benih ikan (Dallaire 2007).

Namun, spesies yang digunakan dalam akuakultur harus memiliki ukuran yang sesuai untuk dikonsumsi dan mudah dicerna. Mereka juga harus cepat tumbuh, tahan terhadap fluktuasi lingkungan, serta memiliki komposisi nutrisi yang baik (Brown 2002).

Nilai Gizi yang Beragam

Nilai gizi suatu spesies alga bergantung pada ukuran sel, kecernaan, toksisitas, dan komposisi biokimia. Perbedaan antar spesies dan metode produksi menjelaskan variasi kandungan protein, lipid, dan karbohidrat, masing-masing 12–35%, 7,2–23%, dan 4,6–23% (FAO 2009a) (Gambar 1). Fluktuasi ini dipengaruhi oleh kondisi kultur, tetapi pertumbuhan cepat dan produksi lipid tinggi dapat dicapai melalui stres pada kultur (Brown et al., 1997).

Protein

Konsentrasi protein alga biasanya didasarkan pada estimasi protein kasar. Karena senyawa lain dalam mikroalga juga mengandung nitrogen, seperti asam nukleat dan dinding sel, maka bisa terjadi estimasi berlebih (Becker 2007).

Kandungan nitrogen non-protein dapat mencapai 12% pada Scenedesmus obliquus, 11,5% pada Spirulina, dan 6% pada Dunaliella. Meski begitu, nilai gizinya tetap tinggi. Kualitas rata-ratanya setara atau bahkan lebih baik dari protein nabati konvensional (Becker 2007) (Tabel 1).

Komposisi asam amino relatif seragam antar spesies dan tidak banyak terpengaruh fase pertumbuhan atau cahaya (Brown et al., 1993a, b). Aspartat dan glutamat mendominasi, sedangkan sistein, metionin, triptofan, dan histidin dalam kadar paling rendah (Brown 1997).

Gambar 1: Persentase (berdasarkan berat kering) protein, lipid, dan karbohidrat dalam mikroalga: Rentang nilai ditunjukkan oleh batang rentang (Brown 1997)

Lipid

Lipid dalam mikroalga berfungsi sebagai penyimpan energi dan penyusun membran biologis. Beberapa spesies laut mengandung lipid hingga 70% berat kering (Stephenson 2011) (Tabel 2). Dalam kondisi pertumbuhan cepat, kadar ini turun ke kisaran 14–30%, lebih cocok untuk akuakultur.

Lipid ini mengandung PUFA seperti DHA, EPA, dan AA (Brown 2002), di mana EPA mencapai 7–34% tergantung spesies (Gambar 2). Asam lemak ini sangat penting dan belum bisa disintesis di laboratorium. Selama ini diperoleh dari minyak ikan, sedangkan minyak nabati tidak mencukupi.

Komposisi asam lemak tergantung intensitas cahaya, media kultur, suhu, dan pH. Karena itu, diperlukan pengendalian lingkungan dan pemilihan spesies yang tepat untuk mendapatkan kandungan lipid optimal.

Gambar 2. Rata-rata persentase komposisi asam lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA) yaitu asam dokosaheksaenoat (DHA: 22:6n-3), asam eikosapentaenoat (EPA: 20:5n-3), dan asam arakidonat (20:4n-6) dari mikroalga yang umum digunakan dalam akuakultur. Data dikompilasi dari lebih dari 40 spesies dari laboratorium CSIRO Marine Research.

Vitamin

Mikroalga juga mengandung berbagai vitamin yang bermanfaat bagi kesehatan. Namun, kandungannya sangat bervariasi antar spesies (Brown 2002). Vitamin C adalah yang paling bervariasi, antara 1–16 mg/g berat kering (Brown & Miller, 1992). Vitamin lain berbeda sekitar 2–4 kali antar spesies (Brown et al., 1999) (Gambar 3).

Meskipun begitu, semua spesies mampu memenuhi kebutuhan vitamin C bagi hewan budidaya, yang hanya memerlukan 0,03–0,2 mg/g dalam pakan (Durve dan Lovell, 1982). Namun, setiap spesies alga memiliki kadar rendah setidaknya satu vitamin, sehingga campuran beberapa jenis alga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lengkap (De Roeck-Holtzhauer et al., 1991).mikroalga secara langsung dapat terpenuhi.

Gambar 3: Konsentrasi berbagai vitamin dalam mikroalga dalam µg g⁻¹. Grafik diadaptasi dari Brown 2002 dengan data yang dikumpulkan dari Seguineau et al., 1996 dan Brown et al., 1999.

Alga dalam Akuakultur

Alga memberi banyak manfaat dalam akuakultur: meningkatkan berat badan, deposit trigliserida dan protein, ketahanan terhadap penyakit, kualitas karkas, efisiensi pakan, serta mengurangi limbah nitrogen (Becker 2004; Fleurence 2012).

Li (2009) menunjukkan bahwa penambahan mikroalga kering sebanyak 1,0–1,5% meningkatkan berat ikan lele saluran dan kadar PUFA. Ganuza (2008) menunjukkan bahwa minyak alga bisa menggantikan DHA dari minyak ikan dalam pakan ikan gilthead seabream, meskipun tidak bisa mengganti EPA sepenuhnya karena kandungan yang rendah.

Namun, pada tingkat tinggi, alga dapat berdampak negatif. Pada inklusi 12,5%, pertumbuhan ikan trout pelangi menurun. Pada 25% dan 50%, muncul defisiensi gizi (Dallaire 2007).

Inklusi 15–30% juga menurunkan konsumsi pakan dan pertumbuhan ikan cod Atlantik, kemungkinan karena penurunan palatabilitas (Walker 2011). Meski begitu, tidak semua spesies menunjukkan dampak negatif. Udang, misalnya, tidak terdampak pada inklusi 50% (Ju 2012).

Produksi Alga

Produksi mikroalga berkembang pesat berkat penelitian biofuel. Produksi global diperkirakan 10.000 ton per tahun (Richmond 2004). Namun, biaya produksi masih menjadi hambatan, yakni antara US$4–300/kg berat kering tergantung metode (FAO 2009a) (Tabel 3).

Photobioreactor kini lebih dipilih daripada kolam terbuka karena efisien. Produksinya bisa mencapai 19.000–57.000 liter minyak mikroalga per acre per tahun, jauh lebih tinggi dari minyak nabati (Chisti 2007). Ini juga bisa menurunkan biaya dari $1,81 ke $1,40 per liter (Demirbas 2011).

Agar kompetitif dengan petrodiesel, harga harus di bawah $0,48 per liter. Ini bisa dicapai melalui skala produksi besar (Demirbas 2011). Penelitian lain juga dilakukan untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis seperti optimasi enzim RUBISCO, studi transgenik, dan seleksi spesies berantena kecil (Stephenson 2011). Penelitian ini sangat penting karena biaya produksi mikroalga saat ini masih terlalu tinggi untuk bersaing dengan sumber protein konvensional dalam akuakultur (Becker 2007).

Manfaat dan Tantangan

Alga memiliki potensi besar sebagai pakan berkelanjutan karena mengandung protein, lipid, dan nutrisi lainnya. Selain itu, organisme ini bersifat fototrofik dan mampu memproduksi senyawa-senyawa tersebut langsung dari sinar matahari. Menariknya, produksi 100 ton biomassa alga dapat menyerap sekitar 183 ton karbon dioksida, yang sangat relevan di tengah tantangan perubahan iklim.

Keunggulan lainnya adalah alga tidak membutuhkan air tawar, tidak bersaing dengan lahan subur, dan tidak mengalami ketidakseimbangan asam amino seperti kedelai. Namun, masih ada tantangan seperti tekstur bubuk pada biomassa kering, aplikasi dalam produksi pakan, tingginya biaya produksi, serta gangguan dari hama dan patogen (Hannon et al., 2010).

Banyak uji coba masih diperlukan karena sebagian besar penelitian masih berfokus pada peningkatan gizi rotifer, bukan pada potensi mikroalga sebagai pengganti tepung dan minyak ikan. Sebagai tambahan, penyimpanan pasta alga dan pemanfaatan tepung mikroalga dari industri biodiesel juga menjadi topik riset yang berkembang. Oleh karena itu, penggunaan alga dalam akuakultur kini dipandang sebagai bidang yang sangat menjanjikan.

Penggunaan alga dalam akuakultur adalah bidang yang menjanjikan. Jika pertanian bisa meningkatkan produktivitas 138% dalam 50 tahun, maka potensi alga pun sangat besar.

Desember 2013

Sumber : https://thefishsite.com/articles/the-potential-of-microalgae-meals-in-compound-feeds-for-aquaculture (diterjemahkan)

Tentang PT Alga Bioteknologi Indonesia (ALBITEC)

PT Alga Bioteknologi Indonesia (Albitec) adalah perusahaan bioteknologi berbasis di Semarang. Berfokus pada penelitian, budidaya, dan produksi spirulina air tawar berkualitas tinggi. Produk Albitec juga telah digunakan secara luas untuk menunjang gaya hidup sehat, kecantikan alami, serta penguatan gizi masyarakat.

Proses produksi dilakukan dengan prinsip ramah lingkungan dan telah memenuhi standar nasional maupun internasional. Selain itu, Albitec juga aktif dalam kegiatan edukatif seperti Visit Farm dan Spirulina Short Design Course (SSDC), sebagai upaya untuk membangun ekosistem mikroalga yang inklusif dan berkelanjutan.

Related Post
Albitec Siap Menembus Pasar Global Lewat Generation Next Trade Mission 2025

Melbourne, 9 September 2025 — PT Alga Bioteknologi Indonesia ...

Nourish100Dream Albitec Salurkan Spirulina untuk Anak Yatim

Jakarta, 7 September 2025 — Dalam rangka memperingati Hari ...

Today’s Invesment, Tomorrow’s Impact

The Alga Biotechnology Indonesia is microalgae industry forward as the next generation of algae cultivation and biotechnology continues to advance and creates more opportunities.

Albitec Customer Care :

Today’s Invesment, Tomorrow’s Impact

The Alga Biotechnology Indonesia is microalgae industry forward as the next generation of algae cultivation and biotechnology continues to advance and creates more opportunities.

Today’s Invesment, Tomorrow’s Impact

The Alga Biotechnology Indonesia is microalgae industry forward as the next generation of algae cultivation and biotechnology continues to advance and creates more opportunities.

WeCreativez WhatsApp Support
Hi sobat albi, CS kami akan menghubungi kamu ya!
👋 Hi, ada yang bisa kami bantu?